D3 and the beauty of projection

D3 and the beauty of projection

So I watched it and fortunately they posted the links to the used content. So I stumbled upon Mike Bostock’s bl.ocks.org account. Mike is the creator of D3 and you can find there stunning examples on big data visualization which is far more advanced than recent examples I saw by SAP with their CRM on HANA solutions on a recent event. And there was this great example on different projections and a live transition from one to another:

 

 

So what is behind this crazy shite? There is this bunch of three d3 js libraries you need to use, a definition of wanted projections which are capable of antimeridian cutting (so the transition works), a function which does the transition according to time and a json with countries and land masses. You can download the working examplehere. This would be a cool feature for our friends at worldmapgenerator.com.

If someone could now show me how to select countries by id and show them in different colors it would be so much more interesting. In the meantime I will look again on this great xkcd analytical comparison of projections:

 

xkcd projections

 
June 25, 2013BERIKAN KOMENTAR
 Kokok ayam ketawa mengantar langkah saya memasuki kawasan adat Ammatoa – sebuah bentang alam rimbun yang dihuni masyarakat Suku Kajang di Desa Tana Towa, Kecamatan Kajang, Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan.

Tergolong tempat magis yang diselimuti banyak misteri, wisatawan yang berkunjung ke Tana Towa memang sedikit. Berbeda jauh dengan Tana Toraja, objek wisata budaya yang berlokasi di provinsi yang sama. Tetapi jangan salah, pesona alam dan budaya Tana Towa tak kalah.

Pengunjung di pintu masuk menuju kawasan adat Ammatoa. Pintu ini berfungsi sebagai batas kultural antara Tana Kekea (permukiman dalam) dan Tana Lohea (permukiman luar). Foto: Clara Rondonuwu

Setelah berjalan melewati setapak berbatu yang dikelilingi bambu dan pohon kayu biti (Vitex cofassus), saya sampai di Dusun Benteng. Ini adalah satu dari tujuh dusun yang ada di dalam gerbang kawasan adat Ammatoa atau biasa disebut Tana Kekea. Masyarakat Kajang yang ada di daerah tersebut masih memegang teguh ajaran nenek moyangnya dan merupakan pengikut setia sang pemimpin adat yakni Ammatoa.

Kawasan tersebut steril dari motor, mobil, televisi, dan listrik. Laki-laki dan perempuan yang berbusana serbahitam tampak lalu lalang membawa hasil hutan atau menggembalakan sapi. Adapun rumah-rumah mereka tampak seragam, berbahan kayu dan menghadap Gunung Lompobattang. Yang khas, tiang-tiang rumah melengkung mengikuti bentuk asli dari kayu biti. Letak dapur juga persis di sebelah pintu masuk.

Anak-anak berjalan kaki sepulang sekolah menuju rumah mereka yang berada dalam kawasan adat Ammatoa. Warna seragam disesuaikan dengan adat, yakni putih hitam. Foto: Clara Rondonuwu

Masyarakat Kajang dalam Tana Kekea secara sengaja menjauhi kehidupan modern. Bukannya alergi teknologi, akan tetapi menurut adat setempat kesederhanaan hidup bisa lebih terjaga tanpa keberadaan barang-barang tersebut. Apalagi hampir semua kebutuhan hidup mereka tercukupi dari beraneka sumber daya hutan.

Buat masyarakat yang ingin menikmati listrik dan barang elektronik, ada pilihan untuk tinggal dalam dua dusun lain di luar gerbang kultural atau disebut Tana Lohea.

Perempuan Kajang mengenakan sarung hitam yang mereka tenun sendiri. Pewarna diambil dari daun tarum yang tumbuh di hutan. Foto: Clara Rondonuwu

Tana Towa dalam bahasa setempat berarti tanah tertua. Masyarakat Suku Kajang meyakini bahwa di tempat itulah kehidupan paling awal dimulai, saat daerah sekelilingnya hanya lautan. Manusia pertama ada di Tana Towa, kemudian bertambah banyak dan memenuhi berbagai penjuru dunia.

Mereka juga meyakini, Tuhan senantiasa mengawasi kehidupan mereka lewat hutan. Selama 40 tahun lamanya, hutan di kawasan adat Ammatoa terjaga dengan baik dan luasannya tetap. Menurut Kepala Desa Tana Towa, Sultan, masyarakat Kajang memiliki pembagian jelas mana hutan yang bisa dinikmati hasilnya dan mana yang disakralkan.

photo (6)

Suasana di Desa Benteng, desa yang berada dalam kawasan adat Ammatoa. Foto: Clara Rondonuwu

Ada ratusan hektare hutan di kawasan tersebut yang disucikan dan masyarakat adat menolak memberi ruang bagi perusahaan perkebunan untuk mengeksploitasi hutan mereka. Sultan mengatakan bahwa hutan sakral tersebut hanya boleh dimasuki saat masyarakat Kajang menggelar ritual adat seperti andigigi atau upacara untuk mengajukan harapan kepada sang pencipta. Ada pula kegiatan ritual lain untuk memohon keselamatan supaya terhindar dari malapetaka.

“Hutan itu adalah adat dan adat itu hutan. Walaupun persepsi negara mengatakan kawasan itu adalah hutan produksi terbatas, tetapi selama itu pula kami mengakuinya sebagai hutan adat,” kata Sultan, menyinggung tentang problem kepemilikan hutan yang tengah membelit masyarakat adat tersebut.

photo (7)

Perempuan di kawasan adat Ammatoa menenun sendiri sarung hitam mereka. Pewarna diambil dari daun tarum yang tumbuh dalam kawasan hutan. Foto: Clara Rondonuwu

Adapun menurut peneliti kehutanan dari World Agroforestry Centre, James Roshetko, Tana Towa adalah contoh baik dari pemberlakuan peraturan adat yang tepat dalam melindungi dan mengatur penggunaan sumber daya hutan. Sudah selayaknya mereka mendapat pengakuan atas upayanya mengelola kawasan alamnya, apalagi saat ini sebagian besar hutan alam di Bulukumba sudah beralih fungsi. “Sayangnya, klaim mereka terhadap hutan adatnya belum dilindungi secara hukum. Proses pembuatan Perda sudah dimulai, tetapi tantangannya besar,” kata James.

Rambu Solo dan ritual kematian Toraja

 
November 25, 2013BERIKAN KOMENTAR
 

 

 
 
     

Rambu Solo di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, menjadi salah satu magnet terbesar turis mancanegara. Pengen tahu apa yang menarik dari ritual kematian tersebut? Yuk, baca ulasannya.

Disebut juga Aluk Rampe Matampu, Rambu Solo merupakan adat pemakaman Toraja yang identik dengan mengorbankan babi atau kerbau kepada arwah leluhur atau orang yang meninggal dunia. 

25cc9776efd6d2c8a4838638144e3a9ad3ce7006

Upacara adat tersebut biasanya berlangsung meriah dan menguras materi. Keluarga akan mati-matian ngumpulin uang supaya mereka bisa menyelenggarakan upacara Rambu Solo, sebab Rambu Solo adalah fokus dari siklus hidup masyarakat Toraja. Rambu Solo juga dianggap sebagai bentuk tanggung jawab keluarga terhadap orang yang sudah meninggal.

Nah, Rambu Solo terbagi lagi jadi beberapa tingkatan sesuai dengan kedudukan seseorang dalam masyarakat dan kemampuan seseorang dalam membiayai upacara tersebut. Ada yang disebut Disilli, yakni upacara pemakaman paling sederhana. Dulu, penguburan bagi masyarakat dari golongan miskin biasanya hanya membekali orang yang meninggal dengan telur ayam. Tapi sekarang, upacara Disilli rata-rata menguburkan orang meninggal dengan memotong seekor babi.

Ada pula yang tahapan lain seperti Dipasang Bongi yakni upacara pemakaman yang hanya berlangsung semalam dengan korban seekor kerbau dan beberapa babi saja, Dipatallung Bongi yakni penguburan yang berlangsung tiga malam dengan korban empat kerbau dan sekitar sepuluh babi, serta Dipalimang Bongi yakni pemakaman yang berlangsung lima hari lima malam.

Dan, tahapan upacara yang mewah disebut Dipapitung Bongi. Berlangsung tujuh hari tujuh malam, sepanjang upacara berlangsung setiap malam ada kerbau dan babi yang dikorbankan. Jumlah kerbau yang dipotong antara 9 dan 20 ekor, adapun kepala kerbau dipajang di rumah adat tongkonan.

Upacara Ma'pasonglo, bagian dari adat Rambu Solo Toraja. Foto: Wego Photo Contest/ Acchal Rose

Upacara Mapasonglo adalah upacara menerima tamu. Ini bagian dari adat Rambu Solo Toraja. Foto: Wego Photo Contest/Acchal Rose

Kalau menurut kamu Dipapitung Bongi sudah menguras uang, sabar … masih ada yang lebih istimewa lagi. Namanya, Dirapai. Ini adalah upacara penguburan paling mahal di Toraja. Sebelum dikubur, upacara pemakaman digelar dua kali.

Upacara pertama berlangsung di rumah tongkonan. Selanjutnya, jenazah diistirahatkan setahun sebelum upacara kedua diadakan. Saat upacara kedua, jenazah akan diarak oleh ribuan orang dari rumah tongkonan ke Rante.

Jenazah sudah terbungkus kain merah berlapisi emas tersebut dan dibuatkan tau-tau atau boneka yang menyerupai orang yang sudah meninggal. Arak-arakan juga diikuti iring-iringan puluhan ekor kerbau jantan yang siap diadu satu lawan satu.

Warga menyaksikan adu kerbau dipesta upacara pemakaman Rambu Solo, di Siguntu' Kabupaten Toraja Utara, Sulsel, (27/12/2011). Salah satu budaya yang menarik dari Tana Toraja adalah adu kerbau yang menjadi adat tradisi pada upacara di pemakaman Rambu Solo. Foto: Wego Photo Contest/MAMAN SUKIRMAN

Mapasilaga tedong, adu kerbau yang jadi bagian dalam upacara pemakaman Rambu Solo di Toraja. Foto: Wego Photo Contest/Maman Sukirman

Ngomong-ngomong soal Rante, tempat upacara yang satu ini berkesan banget buat wisatawan dari Prancis dan ahli antropologi dari barat. Sebab di Rante ada batu megalit yang mirip sama batu yang ada di pesisir Prancis dan negara-negara Skandinavia. Cuma, generasi sekarang di Prancis dan negara Eropa lainnya gak tahu lagi fungsi batu-batu tersebut.

Peradaban Romawi pernah datang ke negara-negara Eropa Barat dan merubah sebagian kebudayaan asli mereka. Itu sebabnya wisatawan dari Prancis gembira melihat menhir atau dolmen di Toraja yang sama dengan batu megalit di negaranya. Kalau kamu mau lihat batu megalit paling menarik buat orang Prancis, kamu bisa mengunjungi batu rante yang ada di Bori, Palawa, Karassik, Sullukkan di Suava.